Hadits Khulu' (Gugatan Cerai Istri Kepada Suami)

Pada perkawinan dilakukan untuk waktu selamamnya sampai mati salah seorang suami atau istri. Namun kemudian dalam keadaan tertentuterdapat hal-hal- yang menghendaki putusnya perkawinan dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan , maka kemudaharatan akan terjadi. Dalam hal ini islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dalam berumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begini merupakan jalan keluar terbaik daripada harus meneruskan perkawinan namun menimbulkan kemudharatan. Diantara cara dalam memutuskan suatu perkawinan yaitu dengan jalan khulu’


1. Hadits Khulu’
Khulu’terdiri dari lafadz khala’a yang berasal dari bahasa Arab secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Hubungan kata khulu’ dengan perkawinan karena Al Qur’an disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu sebagai pakaian suami.
• •   • 
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.”
Penggunaan kata khulu’ untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai pakaian suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu dari suaminya. Khulu’ adalah perceraian dengan kehendak istri. Dasar hukum khulu’ terdapat dalam hadits dan firman allah dalam Surat Al Baqarah ayat 229:
           
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”
Dasar kebolehan khulu’ dalam hadits nabi adalah sabda Nabi :
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ( أَنَّ اِمْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعِيبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ , وَلَكِنِّي أَكْرَهُ اَلْكُفْرَ فِي اَلْإِسْلَامِ , قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ ? , قَالَتْ : نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اِقْبَلِ اَلْحَدِيقَةَ , وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ : ( وَأَمَرَهُ بِطَلَاقِهَا )
Artinya : “Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa istri Tsabit Ibnu Qais menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit Ibnu Qais, namun aku tidak suka durhaka (kepada suami) setelah masuk Islam. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apakah engkau mau mengembalikan kebun kepadanya?". Ia menjawab: Ya. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda (kepada Tsabit Ibnu Qais): "Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia sekali talak." Riwayat Bukhari. Dalam riwayatnya yang lain: Beliau menyuruh untuk menceraikannya.”
Khulu’ merupakan satu bentuk dari putusnya perkawinan namun khulu’ berbeda dengan bentuk lain dari putusnya perkawinan, dalam khulu’ terdapat uang tebusan atau ganti rugi atau iwadh dan perceraian tersebut diminta oleh istri kepada suami. Tujuan dari khulu’ adalah menghindari si istri dari kesulitan dan kemudharatan yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan si suami karena ia telah mendapatkan iwadh dari istri atas permintaan cerai dari istri.
Rukun dan Syarat Khulu’
Di dalam khulu’ terdapat beberapa rukun yang menjadi karakteristik dari khulu’ itu dan di dalam setiap rukun terdapat beberapa syarat.
1. Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusa
2. Istri yang meminta ceria istrinya dengan tebusan
3. Iwadh atau tebusan
4. Alasan terjadinya khuluk’
Adapun yang menjadi syarat khulu’ :
1. Syarat suami yang menceraikan istrinya dalam bentuk khulu’ sebagaimana yang berlaku dalam thalaq yaitu : aqil, baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan syarat ini, suami yang belum dewasa atau gila, maka yang akan menceraikan dengan nama khulu’ ialah walinya.
2. Istri yang mengajukan khulu’, disyaratkan hal-hal sebagai berikut :
• Ia adalah seorang yang masih dalam wilayah si suami dalam arti istrinya atau yang telah diceraikan namun masih dalam iddah raj’i.
• Ia adalah orang yang telah dapat bertindak atas harta; karena untuk keperluan pengajuan khulu’ ia harus menyerahkan harta. Dalam syarat ini ia harus baligh, berakal, dan sudah cerdas bertindak atas harta.
3. Adanya iwadh, para ulama’ berbeda pendapat tentang adanya iwadh dan jumlahnya. Mayoritas ulama’ menempatkan iwadh sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan untuk sahnya khulu’. Pendapat lain, di antaranya satu riwayat dari Ahmad dan Imam Malik mengatakan boleh terjadi khulu’ tanpa iwadh. Alasanya adalah khulu’ itu adalah salah satu bentuk dari putusnya perkawinan, oleh karenanya boleh tanpa iwadh, sebagaimana berlaku dalam thalaq. Adapun dalam jumlah banyaknya iwadh, mayoritas ulama’ termasuk Usman, Ibnu Umar Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, al-naka’iy dan berkembang berkembang di kalangan mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah dan ulama’ Zhahiriyyah, iwadh itu tidak ada batas tertentu dan bahkan boleh melebihi dari mahar yang diberikan suami sesuai dengan kesepakatan suami dan istri. Yang dijadikan alasanya adalah surat al-Baqarah ayat 229 yang tidak menjelaskan batas tertentu. Sedangkan sebagian ulama’ yang diantaranya Atha’, Thawus, al-Zuhri, dan Amru bin Syu’eb berpendapat bahwa iwadh tidak boleh melebihi batas mahar yang diberikan suami, karena hadis Nabi diatas tentang istri Tsabit.
4. Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami yang dalam ungkapan tersebut dinyatakan iwadh.
5. Adanya alasan untuk terjadinya khulu’, dalam Al Qur’an maupun hadits Nabi terlihat adanya alasan untuk terjadinya khulu’ yaitu istri khawatir tidak akan mungkin melaksanakan tugasnya sebagai istri yang menyebabkan dia tidak dapat menegakkan hukum Allah.




E. DAFTAR PUSTAKA
Al-asqolany Imam Hajar, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam Versi 3.01 (Tasikmalaya; MTs Persis Sukasari, Kompilasi CHM oleh Dani Hidayat) 2010
Ash-Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 8 (Semarang; Pustaka Rizki Putra) Tanpa tahun terbit.
Aziz Faisol Abdul, Nailul Authar (Himpunan Hadis-Hadis Ahkam 5) terjm. (Surabaya;Bina Ilmu) 1984
Mughniyah M. Jawad terjm. cet. ke-2, Fiqh Lima Mzhab (Jakarta; Lentera Baristama) 1996
Syarifuddin Amir Prof. DR., Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta;Putra garfika) 2006
Zein Satria Effebndi M. Prof. Dr. H., Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan pendekatan Ushuliyah (Jakarta;Prenada Media,) 2004


Free Blog Counter

0 komentar:

Go to Top
Copyright © 2015 Khasan Almuza
Distributed By My Blogger Themes | Template Created By