Hukum Pembuktian


Hukum pembuktian merupakan salah satu bagian dari beberapa materi yang ada pada hukum acara. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam pula hukum acara yang dianut oleh negara kita. Di antaranya adalah Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Tata Usaha Negara. Dengan adanya beberapa jenis hukum acara yang berbeda-beda tersebut tentu hukum pembuktian mempunyai spesifikasi dan karektiristik tersendiri dalam bidang hukum masing-masing. Mulai dari dasar hukum pembuktian, sistem dan teorinya, kepada siapa beban pembuktian diberikan dan bagaimana hakim pada masing-masing bidang hukum tersebut menilai alat-alat bukti yang diajukan. 
1. Pengertian Pembuktian dalam Hukum Perdata
Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang sangat penting. Kita ketahui bahwa hukum acara atau hukum formal bertujuan hendak memelihara dan mempertahankan hukum material. Jadi secara formal hukum pembuktian itu mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam RBg dan HIR. Sedangkan secara materil, hukum pembuktian itu mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut. 
Dalam jawab menjawab di muka sidang pengadilan, pihak-pihak yang berperkara dapat mengemukakan peristiwa-peristiwa yang dapat dijadikan dasar untuk meneguhkan hak perdatanya ataupun untuk membantah hak perdata pihak lain. Peristiwa-peristiwa tersebut sudah tentu tidak cukup dikemukakan begitu saja, baik secara tertulis maupun lisan. Akan tetapi, harus diiringi atau disertai bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan kebenarannya. Dengan kata lain, peristiwa-peristiwa itu harus disertai pembuktian secara yuridis. 
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. membuktikan mengandung beberapa pengertian: 
a) Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime). Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
b) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
c) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian ”historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktianyang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. 
Pembuktian diperlukan dalam suatu perkara yang mengadili suatu sengketa di muka pengadilan ( juridicto contentiosa ) maupun dalam perkara-perkara permohonan yang menghasilkan suatu penetapan ( juridicto voluntair ). Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya tersebut akan ditolak, namun apabila sebaliknya maka gugatannya tersebut akan dikabulkan. 

Pasal 283 RBg/163 HIR menyatakan : 
“ Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.” 
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam hal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara tersebut yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau pihak tergugat. Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana akan memikul beban pembuktian. Hakim berwenang membebankan kepada para pihak untuk mengajukan suatu pembuktian dengan cara yang seadil-adilnya. 
Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara lain:
a. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.
b. Teori hukum subyektif
Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya.
c. Teori hukum obyektif
Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.
d. Teori hukum public
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
e. Teori hukum acara
Asas audi etalteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama daripada para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama. 
3. Teori Pembuktian
Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu proses tentang bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan, diajukan atau dipertahankan sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Oleh karena alat-alat bukti dalam masing-masing hukum acara berlainan, maka pembuktian yang diterapkannya juga berbeda. Dalam hal ini yang dituju oleh Acara Perdata adalah kebenaran formil, dalam pengertian bahwa seorang hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara.
Menurut Prof. Mr. A. Pitlo dalam bukunya yang dialih bahasakan oleh M. Isa Arief, SH. Dengan judul “Pembuktian dan Daluwarsa”, tiga teori yang diterapkan dalam acara perdata untuk memberikan pembebanan terhadap pembuktian adalah: 
i. Teori Hak (Teori Hukum Subjektif)
Dalam teori ini, pihak yang mengemukakan hak (pihak yang menuntut) harus membuktikan segala apa yang diperlukan untuk membuktikan haknya. Sedangkan pihak lawan juga harus membuktikan adanya kekeliruan yang dituntutkan oleh pihak penuntut, seperti adanya fakta khusus yang menghapuskan hak yang dimiliki oleh penuntut dengan sudah dibayarnya hak tersebut oleh pihak tertuntut.
ii. Teori Hukum (Teori Hukum Objektif)
Teori ini lebih mengedepankan pada apa yang diatur dalam Undang-undang. Sehingga tugas hakim adalah mengoreksi apakah yang disampaikan oleh penuntut telah memenuhi Undang-undang atau belum yang pada akhirnya memberikan putusan untuk menerima atau menolaknya.
iii. Teori Hukum Acara dan Teori Kepatutan
Teori ini mengatur tentang bagaimana seharusnya hakim bertindak adil dalam memberikan hak berperkara dalam sidang kepada kedua belah pihak dan tidak diperbolehkan baginya untuk memihak kepada salah satu pihak. Seperti halnya tidak boleh bagi hakim memberikan beban pembuktian kepada salah satu pihak yang tidak berpadanan beratnya dengan pihak lawan.
Yang berwenang menilai dan menyatakan terbukti tidaknya peristiwa ialah hakim yang memeriksa duduk perkara (judex facti). Dalam hal ini pembentuk undang-undang dapat mengikat hakim pada alat-alat bukti tertentu, sehingga ia tidak bebas menilainya. Sebaliknya undang-undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan kepada hakim dalam menilai pembuktian. Terdapat 3 ( tiga ) buah teori bagi hakim di dalam menilai alat bukti yang diajukan oleh para pihak: 
i. Teori Pembuktian Bebas
Di dalam teori ini tidak dikehendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian diserahkan penuh kepadanya. Dan di tangannyalah putusan peradilan berada.
ii. Teori Pembuktian Negatif
Teori ini mengharuskan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat yang bersifat negatif, yaitu harus mempunyai batasan yang berupa larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian.
iii. Teori Pembuktian Positif
Kebalikan dari teori Pembuktian Negatif, dalam teori ini hakim diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Seperti misalnya adanya suatu akta autentik yang diduga palsu, hakim berhak melakukan penilaian terhadap pembuktian tersebut . Berbeda dengan teori pembuktian negatif yang melarang hakim melakukan penilaian terhadap pembuktian yang semisal keterangan seorang saksi. Dalam hal ini, jika ada keterangan dari seorang saksi saja, maka langkah yang harus diambil adalah menolak gugatan. Kecuali jika dikuatkan dengan alat bukti lain, minimal satu alat bukti lagi.
4. Alat-alat hukum pembuktian
Dari urutan alat-alat bukti dalam hukum acara perdata, maka alat bukti tulisan atau surat merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara perdata. Dalam praktak perdata misalnya dalam perjanjian jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, penghibahan, perwasiatan dan sebagainya orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut umumnya dengan sengaja membuat bentuk tulisan untuk keperluan pembuktian di kemudian hari jika diperlukan. 
Surat-surat akta dapat dibagi lagi atas akta resmi (authentiek) dan surat-surat akta di bawah tangan (onderhands).
Suatu akta resmi (authentiek) ialah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.
Menurut undang-undang suatu akta resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akta resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akta itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu akta di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta dibawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta resmi.
Akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian:
i. Kekuatan pembuktian formil, membuktikan pada para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
ii. Kekuatan pembuktian materiil, membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta terjadi.
iii. Kekuatan mengikat, membktikan antara pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum atau pencatat akta. 
Apabila tidak terdapat bukti-bukti yang berupa tulisan , maka pihak yang diwajibkan membuktikan sesuatu berusaha mendapatkan orang-orang yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa orang-orang yang harus dibuktikan tersebut. Orang-orang tersebut di muka hakim diajukan sebagai saksi. Orang-orang tersebut mungkin saja pada waktu terjadinya peristiwa itu dengan sengaja telah diminta untuk menyaksikan kejadian yang berlangsung dan ada pula orang-orang yang secara kebetulan melihat atau mengalami peristiwa yang dipersengketakan tersebut.
Setiap saksi diwajibkan, menurut cara agamanya bersumpah atau berjanji bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya. Karena itu menjadi saksi dalam suatu perkara dimuka hakimtidak boleh dianggap sebagai suatu hal yang dianggap enteng. Terhadap siapa yang dengan sengaja memberikan suatu keterangan palsu di atas sumpah, diancam pidana menurut pasal 242 KUHP, sebagai seorang yang melakukan tindak pidana sumpah palsu. 
Semua orang yang cakap menjadi saksi diwajibkan memberikan kesaksian. Namun apabila saksi tersebut tidak memenuhi panggilan untuk diadikan saksi, menurut undang-undang orang tersebut dapat :
i. Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memmanggil saksi.
ii. Secara paksa dibawa ke pengadilan
iii. Dimasukan dalam penyanderaan (lihat pasal 140, 141 & 148 RIB) 
Namun ada beberapa orang yang dibebaskan untuk menjadi saksi karena terlalu dekat hubungannya dengan salah satu pihak atau kedudukanya, pekerjaan atau jabatannya. Mereka adalah :
i. Orang yang mempunyai pertalian darah dalam garis kesamping dalam derajat kedua atau semenda dengan salah satu pihak.
ii. Orang yang mempuyai pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis samping dalam derajat kedua dengan suami atau istri salah satu pihak.
iii. Siapa saja yang karena kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya menurut undang-undang diwajibkan merahasiakan sesuatu, anmun hanyalah semata-mata menegenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian pasal 1909 KUHPdt. Atau pasal 146 RIB. Misalnya : dokter, advokat, notaris.
Apabila tidak mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka diusahakan untuk membuktikan peristiwa-peristiwa lain yang memiliki hubungan erat dengan peristiwa yang harus dibuktikan tadi, dan dari peristiwa itu hakim dapat mengambil suatu kesimpulan. Menyimpulkan terbuktinya sesuatu peristiwa dari terbuktinya peristiwa-peristiwa lain inilah yang dinamakan persangkaan. Bila pembuktian dengan tulisan dan kesaksian itu merupakan pembuktian secara langsung, maka pembuktian dengan persangkaan dinamakan pembuktian secara tak langsung karena pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik melainkan diperoleh dari kesimpulan sesuatu hal atau peristwa yang terjadi di persidangan. 
Persangkaan dapat dibedakan sebagai berikut : 
a) Persangkaan atas dasar kenyataan ( feitelijke/rechtelijke vermoedens atau praesumptiones facti ) 
Dalam hal ini hakimlah yang memutuskan berdasarkan kenyataan, bahwa persangkaan tersebut terkait erat dengan peristiwa lain sehingga dapat melahirkan pembuktian. Misalnya, persangkaan hakim dalam perkara perceraian yang didasarkan alasan perzinahan. Apabila seorang pria dengan seorang wanita dewasa yang bukan suami isteri, tidur bersama dalam satu kamar yang hanya punya satu tempat tidur, maka perbuatan perzinahan tersebut telah terjadi menurut persangkaan hakim. 
b) Persangkaan atas dasar hukum/undang-undang
( wettelijke/rechtsvermoedens atau praesumptiones juris )
Dalam hal ini undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dengan peristiwa yang tidak diajukan. Persangkaan berdasarkan hukum ini dapat dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu : 
i. Praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan. 
ii. Praesumtiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.
Pengakuan dan sumpah juga termasuk dalam kelompok pembuktian secara tak langsung. Karena pada dasarnya pengakuan bukan berfungsi membuktikan tetapi pembebasan pihak lawan untuk membuktikan hal yang diakui pihak lain. Jika tergugat mengakui dalil penggugat, pada dasarnya tergugat bukan membuktikan kebenaran dalil tersebut, tetapi membebaskan penggugat dari kewajiban beban pembuktian untuk membuktikan dalil yang dimaksud. Sama halnya dengan sumpah, dalam hal ini, dengan diucapkannya sumpah yang menentukan ( decisoir eed ) atau sumpah tambahan ( aanvullend eed ) dari suatu peristiwa maka dapat disimpulkan adanya suatu kebenaran tentang hal yang dinyatakan dalam lafal sumpah. Dengan kata lain, sumpah bukan membuktikan kebenaran tentang apa yang dinyatakan dalam sumpah tersebut, tetapi dari sumpah itu disimpulkan kebenaran yang dijelaskan dari sumpah tersebut.
Pengakuan dibeda-bedakan sebagai berikut : 
• Pengakuan murni adalah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan. Pengakuan tersebut mutlak, tidak ada syarat apapun. Dengan demikian pengakuan tersebut harus dinyatakan terbukti oleh hukum. 
• Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian tuntutan si penggugat. Dengan kata lain, pengakuan ini adalah jawaban tergugat yang memuat sebagian berupa pengakuan dan sebagian lagi berupa sangkalan atau bantahan. 
• Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Keterangan tambahan atau klausula semacam itu dapat berupa pembayaran, pembebasan atau kompensasi. Pengakuan ini sebenarnya adalah jawaban tergugat tentang hal pokok yang diajukan oleh penggugat, tetapi disertai dengan penjelasan tambahan yang menjadi dasar penolakan gugatan.
Dari penjelasan diatas dapat simpulkan 5 macam alat-alat pembuktian yaitu :
i. Surat-surat
ii. Kesaksian
iii. Persangkaan
iv. Pengakuan
v. Sumpah 
Selain lima macam alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 1866 KUHPerdata maupun Pasal 284 RBg/164 HIR, RBg/HIR masih mengenal alat pembuktian lain yaitu pemeriksaan setempat dan keterangan ahli, seperti yang ditentukan dalam pasal-pasal berikut : 
Pasal 180 RBg/153 HIR ayat (1) menyatakan : 
“ Jika dianggap dan berguna, maka Ketua dapat mengangkat seorang atau dua orang komisaris daripada pengadilan itu, yang dengan bantuan Panitera akan memeriksa sesuatu keadaan setempat, sehingga dapat menjadi keterangan kepada hakim.“ 
Pasal 181 RBg/154 HIR ayat (1) menyatakan : 
“ Jika menurut pertimbangan pengadilan, bahwa perkara itu dapat menjadi lebih terang, kalau diadakan pemeriksaan seorang ahli, maka dapat ia mengangkat seorang ahli, baik atas permintaan kedua belah pihak, maupun karena jabatannya.“ 
Ada juga alat bukti yang tidak disebutkan dalam undang-undang yaitu foto, film, rekaman video/tape/CD serta mikrofilm dan mikrofische.43 Menurut surat Ketua Mahkamah Agung RI kepada Menteri Kehakiman RI Nomor 37/TU/88/102/Pid tanggal 14 Januari 1988, mikrofilm atau mikrofische dapat dijadikan alat bukti surat dengan catatan bila bisa dijamin keotentikannya yang dapat ditelusuri dari registrasi maupun berita acara. Hal tersebut berlaku terhadap perkara-perkara pidana maupun perdata. Dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia, terdapat beberapa doktrin pengelompokkan alat bukti, yang membagi alat-alat bukti ke dalam kategori : 
i. Oral Evidence 
• Perdata ( keterangan saksi, pengakuan dan sumpah ). 
• Pidana ( keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa ). 
ii. Documentary Evidence 
• Perdata ( surat dan persangkaan ). 
• Pidana ( surat dan petunjuk ). 
iii. Material Evidence 
• Perdata ( tidak dikenal ) 
• Pidana ( barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, barang yang digunakan untuk membantu tindak pidana, barang yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana, barang yang diperoleh dari suatu tindak pidana dan informasi dalam arti khusus ). 
iv. Electronic Evidence 
• Konsep pengelompokkan alat bukti menjadi alat bukti tertulis dan elektronik. Konsep ini terutama berkembang di negara-negara common law. Pengaturannya tidak melahirkan alat bukti baru, tetapi memperluas cakupan alat bukti yang masuk kategori documentary evidence.
5. Daluarsa
Daluarsa Dalam KUH Perdata pasal 1946 Daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan dalam UU
• Ada dua macam Daluarsa atau Verjaring :
i. Acquisitieve Verjaring
Acquisitieve Verjaring Adalah lampau waktu yang menimbulkan hak. Syarat adanya kedaluarsa ini harus ada itikad baik dari pihak yang menguasai benda tersebut.
Pasal 1963 KUH Perdata: Pasal 2000 NBW. 
“ Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluarsa , dengan suatu penguasaan selama dua puluh tahun “. Dan “ Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama tiga puluh tahun, memperoleh hak milik dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya”.
Seorang bezitter yang jujur atas suatu benda yang tidak bergerak lama kelamaan dapat memperoleh hak milik atas benda tersebut. Dan apabila ia bisa menunjukkan suatu title yang sah, maka dengan daluarsa dua puluh tahun sejak mulai menguasai benda tersebut.
Contoh : B menguasai tanah bukan miliknya. UU menentukan, setelah 30 tahun jika tidak ada keberatan dari pihak lain, ia dapat meminta pengadilan untuk menjadikan tanah tersebut menjadi miliknya. Ketentuan ini tidak berlaku bila ada keberatan sekali saja. 
ii. Extinctieve Verjaring
Extinctieve Verjaring Adalah lampau waktu lampau yang melenyapakan atau membebaskan terhadap tagihan atau kewajibannya.
Contoh : A mempunyai utang kepada B. Selama 30 th B tidak pernah menegur A. Maka setelah 30 th A dibebaskan dari utang. 
• Tujuan Lembaga Daluarsa :
i. Untuk Untuk melindungi kepentingan masyarakat.
ii. melindungi si berutang dengan jalan mengamankannya terhadap tututan yang sudah kuno.
• Pelepasan Daluarsa dibagi menjadi 2, yaitu:
i. Dilakukan secara Tegas
Seseorang yang melakukan perikatan tidak diperkenankan melepaskan Daluarsa sebelum tiba waktunya, namun apabila ia telah memenuhi syarat-syarat yang ditentuka dan waktu yang telah ditentukan pula, maka ia berhak melepaskan Daluarsanya.
ii. Dilakukan secara Diam-diam
Pelepasan yang dilakukan secara diam-diam ini terjadi karena si pemegang Daluarsa tidak ingin mempergunakan haknya dalam sebuah perikatan. Apabila kita dalam perikatan jual beli tidak diperkenankan memindah tangankan barang kepada orang lain, maka secara otomatis Daluarsa tidak dapat kita lepaskan, karena sudah ada persyaratan untuk melepaskannya serta waktu yang sudah ditetapkan oleh kedua belah pihak.
IV. SIMPULAN


Pembuktian dalam hukum pembuktian perdata adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.
Ada 3 teori beban pembuktian:
• Teori Hak (Teori Hukum Subjektif)
• Teori Hukum (Teori Hukum Objektif)
• Teori Hukum Acara dan Teori Kepatutan
Ada 5 macam pembagian alat-alat pembuktian yaitu :
• Surat-surat
• Kesaksian
• Persangkaan
• Pengakuan
• Sumpah
Daluarsa Dalam KUH Perdata pasal 1946 Daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan dalam UU
Ada dua macam Daluarsa atau Verjaring :
i. Acquisitieve Verjaring
ii. Extinctieve Verjaring


Catatan Kaki:


1.http://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/22/teori-pembuktian-dan-alat-alat-bukti/

[2] H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 83. 
[3] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktak, Alumni, Bandung, 1989, hlm. 53. 
[4] Ibid, hlm.51                     
[5] http://ketipp.blogspot.com/2011/04/hukum-pembuktianabdulcom.html
[6] http://indohukum.blogspot.com/2011/04/dasar-hukum-pembuktian.html
[7] Ibid.
[8] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op cit, hlm. 61. 
[9] Prof. R. Subekti, Hukum Pembuktian Pradnya Paramita, Jakarta: 1995. hlm.38
[10] Ibid. Hlm.39
[11] Ibid. hlm. 39
[12] Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi, CV Mandar Maju, Bandung, 2005  , hlm. 96. 
[13] Ibid. hlm. 98
[14] Prof. R. Subekti, Opcit. hlm. 19
[15] Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 100. 
[16] R. Subekti dan R. Titrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: P.T Pradnya Paramita, 2005, cet. XXV

[17] http://tidakdijual.com/2011/08/pembuktian-dan-daluwarsa/
[18] Ibid.





0 komentar:

Go to Top
Copyright © 2015 Khasan Almuza
Distributed By My Blogger Themes | Template Created By