HUKUM PERORANGAN



Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum, misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha, dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terdiri dari empat bagian, yaitu:
• Buku I : berisi tentang Orang
• Buku II : berisi tentang Kebendaan
• Buku III : berisi tentang Perikatan/Perjanjian
• Buku IV : berisi tentang Pembuktian dan Kadaluarsa
Namun, seperti yang tertulis dalam judul makalah, kami hanya akan membahas Buku I KUH Perdata tentang orang yang lebih spesifik lagi tentang hukum perorangan atau pribadi.
Pengertian hukum perorangan menurut subekti adalah peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk bertindak sendiri, melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan itu. Definisi ini terlalu sempit karena hukum perorangan tidak hanya mengkaji ketiga hal tersebut, namun juga mengkaji tentang domisili dan catatan sipil. Jadi, hukum perorangan adalah keselurah kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang subyek hukum dan kewenangan, kecakapan, domisili, dan catatan sipil. Definisi ini dititikberatkan pada wewenang subyek hukum dan ruang lingkup peraturan hukum perorangan.



Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum, misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha, dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terdiri dari empat bagian, yaitu:
• Buku I : berisi tentang Orang
• Buku II : berisi tentang Kebendaan
• Buku III : berisi tentang Perikatan/Perjanjian
• Buku IV : berisi tentang Pembuktian dan Kadaluarsa
Namun, seperti yang tertulis dalam judul makalah, kami hanya akan membahas Buku I KUH Perdata tentang orang yang lebih spesifik lagi tentang hukum perorangan atau pribadi.
Pengertian hukum perorangan menurut subekti adalah peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk bertindak sendiri, melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan itu. Definisi ini terlalu sempit karena hukum perorangan tidak hanya mengkaji ketiga hal tersebut, namun juga mengkaji tentang domisili dan catatan sipil. Jadi, hukum perorangan adalah keselurah kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang subyek hukum dan kewenangan, kecakapan, domisili, dan catatan sipil. Definisi ini dititikberatkan pada wewenang subyek hukum dan ruang lingkup peraturan hukum perorangan.

A. Pengertian Subyek Hukum
Istilah subyek hukum berasal dari terjemahan rechtsubject ( Belanda) atau law of subject (Inggris). Pada umumnya rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian subyek hukum (rechtsubject) menurut Algra adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban, jadi mempunyai wewenang hukum (rechtbevoegheid) dan kewajiban hukum. Pengertian wewenang hukum (rechtbevoegheid) adalah kewenangan untuk mempunyai hak dan kewajiban untuk menjadi subjek dari hak-hak.
Dalam pengertian ini subyek hukum memiliki wewenang, wewenang subyek hukum ini dibagi menjadi dua :
• Wewenang untuk mempunyai hak (rechtsbevoegdheid)
• Wewenang untuk melakukan/menjalankan perbuatan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Namun dalam pengertian ini subyek hukum hanya terbatas pada orang saja, padahal selain orang ada subyek hukum lainnya yaitu badan hukum.
1. Manusia sebagai subyek hukum (natuurlijk persoon)
Ada dua pengertian manusia: biologis dan yuridis. Di dalam KBBI disebutkan bahwa manusia adalah makhluk yg berakal budi (mampu menguasai makhluk lain) sedangkan Chidir Ali mengartikan manusia adalah mahluk yang berwujud dan berohani, yang secara berasa, yang berbuat dan menilia, berpengatahuan dan berwatak. Kedua pengertian ini difokuskan pada pengertian manusia secara biologis dimana manusia mempunyai akal yang membuatnya berbeda dengan mahluk lain. Namun secara yuridis para ahli berpendapat bahwa manusia sama dengan orang (persoon) dalam hukum. Ada dua alasan manusia disebut dengan orang (persoon) yaitu: manusia mempunyai hak-hak subyektif dan kewenangan hukum. Dalam hal ini kewenangan hukum berarti kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan (Pasal 2 KUH Perdata), namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang dapat melakukan perbuatan adalah orang yang telah dewasa dan atau sudah kawin. Ukuran kedewasaan adalah sudah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Sedangkan orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah (1) orang yang sudah dewasa; (2) orang yang berada dibawah pengampunan atau pengawasan; (3) Kurang cerdas; (4) sakit ingatan (pasal 1331 KUH Pdt.)
2. Badan hukum sebagai subyek hukum (Recht persoon)
Badan hukum daalam bahasa belanda disebut rechtpersoon. Menurut soemitro berarti suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang-orang pribadi. Pendapat lain berpendapat bahwa badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan yaitu (1) berwujud himpunan, dan (2) harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan tertentu, dan ini dikenal dengan yayasan (Sri Soedewi Masjchoen)
Kalau dilihat dari pendapat tersebut badan hukum dapat dikategorikan sebagai subjek hukum sama dengan manusia disebabkan karena:
• Badan hukum itu mempunyai kekayaan sendiri
• Sebagai pendukung hak dan kewajiban
• Dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan
• Ikut serta dalam lalu lintas hukumà bias melakukan jual beli
• Mempunyai tujuan dan kepentingan

B. Kewenangan Berhak dan Berbuat
1. Kewenanagn Berhak
Hukum perdata memandang bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama. Baik itu manusia yang sudah dewasa ataupun manusia yang masih belum dewasa, maka hak-haknya tetaplah sama. Berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam hukum perdata adalah apabila ia meninggal dunia.
Namun apabila terdapat pertanyaan, apakah manusia yang tidak normal memiliki kewenangan berhak? Dalam kenyataan setiap manusia atau setiap individu itu mempunyai atau mampu bertanggungjawab atas segala perbuatan yang dilakukan. Kewenangan berhak adalah mengandung pengertian kewenangan setiap manusia pribadi yang berlangsung terus menerus hingga akhir hayatnya. Kewenangan berhak setiap manusia tidak dapat ditiadakan oleh suatu ketentuan hukum apapun.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kewenanagan berrhak seseorang yang sifatya membatasi, diantaranya:
a) Tempat tinggal, misalnya dalam pasal 3 PP No.24 Th.1960 dalam pasal 1 PP No. 41 Th. 1964 (tambahan pasal 3a s/d 3c) jo pasal 1 ayat 2 UUPA disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal diluar kecamtan tempat letak tanahnya (tanah absensi).
b) Kewarganegaraan, misalnya dalam pasal 21 UUPA disebutkan bahwa hanya WNI yag berhak memiliki hak milik (berupa tanah).
2. Kewenangan Berbuat
Kewenangan Berbuat/Bertindak.
Pada dasarnya, setiap manusia memliki kewenangan berhak, yakni kewenangan berhak untuk dilakukan (dikenai) atau melakukan apa saja sesuai dengan ketentuan aturan. Hanya saja kewenangan berbuat atau kewenangan bertindak adalah kewenangan yang tidak harus dilakukan oleh setiap manusia. Sebab hal ini dibatasi oleh beberapa faktor. Kesimpulannya, setiap manusia yang mempunyai kewenangan berhak belum tentu mempunyai kewenangan berbuat atau bertindak.
Contohnya adalah, adat Jawa yang mengatakan seseorang yang sudah mandiri dikatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sebaiknya dikatakan belum dewasa apabila orang tersebut belum mandiri dan belum berkeluarga.
Undang-Undang Dasar 1945 melalui pasal 2 aturan peralihan menyatakan bahwa: Ketentuan produk kolonial masih dapat diberlakukan sebelum dibentuk undang-undang yang baru. Sampai sekarang belum ada undang-undang baru yang meneruskan pengertian dewasa dan belum dewasa. Oleh harena itu ketentuan dewasa dan belum dewasa produk kolonial masih berlaku. Misalnya: - Pasal 330 BW, untuk golongan eropa. Stablad 1924 No. 556, untuk golongan orang timur asing.
Contoh kongkrit yang lain adalah dengan keluarnya Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, maka konsep dewasa dan tidak dewasa menjadi berubah. Di dalam UU tersebut disebutkan, bahwa ijin orang tua bagi: Orang yang akan melangsungkan perkawinan jika belum mencapai umur 20 tahun. Dan bagi wanita yang akan melangsungkan perkawinan. Anak yang belum berusia 18 tahun, belum pernah kawin, dan berada di bawah kekuasaan orang tua. Anak yang belum mencapai usia 18 tahun, belum pernah kawin dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, tetapi berada di bawah kekuasaan wali.

C. Akibat ketidakcakapan
Kewenangan dan kecakapan, keduanya merupakan hal yang serupa. Kewenagan dan kecakapan menjadi penting ketika dihadapkan pada sahnya subyek hukum dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.
Orang yang cakap (wenang melakukan perbuatan hukum ) menurut UU adalah:
i. Orang yang dewasa ( diatas 18 tahun) atau pernah melangsungkan perkawinan
ii. Tidak dibawah pengampuan, yaitu orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, pemboros, dll.
iii. Tidak dilarang oleh UU, misal orang yang dinyatakan pailit oleh UU dilarang untuk melakukan perbuatan hukum.
Pendewasaan adalah meniadakan keadaan belum dewasa kepada seseorang agar dapat melakukan perbuatan hukum.
Ada 2 macam pendewasaan :
a) Penuh (sempurna), anak dibawah umur memperoleh kedudukan sama dengan orang dewasa dalam semua hal.
Pendewasaan Penuh/sempurna (Pasal 420 s/d 425 KUHPer) :
• Syaratnya yang bersangkutan telah mencapai umur 20 tahun
• Permohonan diajukan kepada Presiden dan diberikan setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung
• Mempunyai kedudukan yang sama dengan orang dewasa
• Tidak dapat ditarik kembali menjadi keadaan belum dewasa.
b) Terbatas, hanya disamakan dalam hal perbuatan hukum, namun tetap berada dibawah unmur.
Ketentuan pendewasaan terbatas (Pasal 426-431 KUHPer) :
• Syarat yang bersangkutan telah mencapai umur 18 tahun
• Permohonan diajukan kepada Pengadilan Negeri
• Hanya cakap untuk tindakan-tindakan hokum tertentu
• Dapat ditarik kembali menjadi keadaan belum dewasa
Contoh : membuat wasiat
D. Kewarganegaraan dan Akibat Hukumnya
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 menyebutkan, Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Dan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru ini tengah memuat asas-asas kewarganegaraan umum ataupun universal. adapun asas-asas yang dianut dalam undang-undang ini antara lain :
Asas Ius Sanguinis (law of blood) merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
Asas Ius Soli (law of the soil) secara terbatas merupakan asas yang menetukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Asas Kewarganegaraan Tunggal merupakan asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
Asas Kewarganegaraan Ganda terbatas merupakan asas yang menetukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Akibat Kewarganegaraan
Undang-undang kewarganegaraan pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan seorang anak hanya apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, dan hilangnya kewarganegaraan ayah atatu ibu tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan seorang anak menjadi hilang.
Berdasarkan undang-undang ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai Warga Negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka anak tersebut harus menentukan pilihannya, dan pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan perkembangan baru yang positif bagi anak-anak hasil perkawinan campuran. Namun perlu di telaah, apakah pemberian dua kewarganegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru dikemudian hari atau tidak, karena bagaimanapun memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk kepada dua yurisdiksi, dan apabila dikaji dari segi hukum perdata internasional kewarganegaraan ganda memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lainnya tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila terdapat pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana, dan bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.

1. Pengertian Domisili
Domisili adalah terjemahan dari domicile atau woonplaats yang artinya tempat tinggal. Menurut sri soedewi Masjchoen sofwan domisili atau tempat kediaman itu adalah:
“tempat di mana seseorang dianggap hadir mengenai hal melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajibannya juga meskipun kenyataannya dia tidak di situ”
Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata tempat kediaman itu seringkali ialah rumahnya, kadang-kadang kotanya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap orang dianggap selalu mempunyai tempat tinggal di mana ia sehari-harinya melakukan kegiatannya atau di mana ia berkediaman pokok. Kadang-kadang menetapkan tempat kediaman seseorang itu sulit, karena selalu berpindah-pindah (banyak rumahnya). Untuk memudahkan hal tersebut dibedakan antara tempat kediaman hukum (secara yuridis) dan tempat kediaman yang sesungguhnya.
Tempat kediaman hukum adalah:
“Tempat dimana seseorang dianggap selalu hadir berhubungan dengan hal melakukan hak-haknya serta kewajiban-kewajibannya, meskipun sesungguhnya mungkin ia bertempat tinggal di lain tempat.
Menurut Pasal 77, Pasal 1393; 2 KUHPerdata tempat tinggal itu adalah “tempat tinggal dimana sesuatu perbuatan hukum harus dilakukan”.

Bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu,maka tenpat tinggal dianggap di mana ia sungguh-sungguh berada.
2. Pentingnya Domisili
i. Prof. J. Hardijawidjaja, S.H. dan Prof. Ko Tjai Sing, S.H. mengatakan bahwa dalam arti hukum domisili adalah tempat dimana seseorang harus dianggap selalu berada untuk memenuhi kewajiban serta melaksanakan hak-haknya itu.
Contoh: Seorang Anggota DPR RI yang pada kenyataannya bertempat tinggal di Kendal akan dikatakan berdomisili di Jakarta karena meskipun tempat tinggalnya di kendal namun di Jakarta adalah tempat dimana ia sewaktu-waktu dapat dipanggil dan melakukan hak-hak serta kewajibannya.
ii. Berdasarkan BW dan undang-undang lainya, domisili ditentukan berdasarkan tempat dimana perbuatan hukum harus atau dapat dilakukan oleh kompetensi suatu instansi yang bersangkutan.
Misalnya:
a) Pasal 76 BW
Perkawinan harus dilangsungkan dihadapan pegawai catatan sipil dari tempat tinggal slah satu pihak yang hendak kawin
b) Pasal 207 BW
Gugatan perceraian harus diajukan kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggal suami istri.
c) Pasal 1393 ayat 2 BW
Apabila tidak diperjanjikan lain, pembayaran dilakukan ditempat tinggal kreditor.
d) Pasal 118 ayat 1 HIR
Perkara perdata diadili oleh Pengadilan Negeri dari tempat tergugat.
iii. Selain itu, domisili juga penting bagi seseorang dalam hal berikut:
a) Untuk menentukan atau menunjukan suatu tempat di mana berbagai perbuatan hokum harus dilakukan, misalnya mengajukan gugatan, pengadilan mana yang berwenang mengadili (menurut sri soedewi sofwan)
b) Untuk mengetahui dengan siapakah seseorang itu melakukan hubungan hokum serta apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing (ridwan syahrani)
c) Diwilayah hukum mana perkawinan harus dilakukan bila seseorang hendak menikah.
d) Dimana seseorang atau badan hukum itu harus dipanggil oleh pengadilan.
e) Pengadilan mana yang berwenang untuk menyelesaikan perkara yang melibatkan orang atau badan hukum itu.
f) Tempat dilaksankannya pembagian warisan yang ditinggalakan oleh orang yang bersangkutan dimana ia tinggal sampai ia meninggal dunia..
1. Pengertian Catatan Sipil
Catatan Sipil merupakan bagiandari sistem administrasi kependudukan secara keseluruhan yang terdiri subsistem pendaftaran penduduk dan catatan sipil. Keduanya mencakup hak asasi bagisemua manusia yang berada dalam suatu negara walaupun demikian bukan berartipendaftaran penduduk identik dengan pencatatan sipil. Keduanya dapatdibangundalam satu sistem, keduanya juga dapat dikategorikan dalampelayanan publik.Tetapi di antara keduanya terdapat perbedaan yang menonjol bahwa pencatatansipil memiliki aspek hukum yang membawa akibat hukum yang luas bagi setiapwarga negara.
Banyak pihak yang merancukan"pencatatan sipil" sama dengan "pencatatan penduduk". Haltersebut terbukti dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No.54 Tahun 1999 bahwa pendaftaran penduduk adalah kegiatan pendaftaran dan atau pencatatan datapenduduk beserta perubahannya, perkawinan, perceraian, kematian dan mutasipenduduk, penerbitan nomor induk kependudukan, nomor induk kependudukansementara, kartu keluarga, kartu tanda penduduk dan akta pencatatan pendudukserta pengelolaan data penduduk dan penyuluhan.
Jadi jelas, dari definisitersebut merancukan antara pendaftaran penduduk dan “pencatatan penduduk”.Seolah-olah pengertian “penduduk”sama dengan “sipil”. Menurut keputusan Menteri Dalam Negeritersebut, definisi penduduk adalah setiap warga Indonesiayang selanjutnya disingkat WNI dan warganegara asing selanjutnya disingkat WNA pemegang izin tinggal tetap di wilayahnegara RI.
Sedangkan pengertian “sipil” bukan berarti penduduk semata, melainkan mencakup hak-hak setiap warga negara yang mengkait status hukum sipil/keperdataan seseorang (warga negara). Bahkan status hukum tersebut terkait pula dengan status kewarganegaraan seseorang.
Namun dalam kamus besar bahasa indonesi catatan sipil adalah kantor yang bertugas membuat dan menyimpan surat-surat mengenai kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian. Dalam pencatatan ini, pemerintah menugaskan kepada kantor/lrmbaga catatan sipil dengan tujuan:
a) Agar setiap warga negara dapat memiliki bukti-bukti otentik tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi sehubungan dengan dirinya.
b) Untuk memperlancar aktivitas pemeritah dibidang kependudukan, misalnya dalam pendataan pemilu.
c) Untuk mendapatkan data-data selengkap mungkin agar status warga masyarakat dapat diketahui
2. Kegunaan akta yang dibuat oleh catatan sipil
Akta dapat mempunyai fungsi formil (formalitas causa) yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurnannya suatu hukum perbuatan hukum, harusnya dibuat suatu akta. Sebagai contoh dari suatu perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil ialah pasal 1610 BW tentang perjanjian pemborongan, pasal 1767 BW tentang perjanjian hutang piutang dengan bunga dan pasal 1851 tentang perdamaian.
Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagaai alat bukti.
IV. Simpulan
Subyek hukum dibagi menjadi dua yaitu: orang dan badan hukum. Subyek hukum adalah setiap manusia atau badan hukum yang punya hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum.
Pada dasarnya, setiap manusia memliki kewenangan berhak, yakni kewenangan berhak untuk dilakukan (dikenai) atau melakukan apa saja sesuai dengan ketentuan aturan. Hanya saja kewenangan berbuat atau kewenangan bertindak adalah kewenangan yang tidak harus dilakukan oleh setiap manusia. Sebab hal ini dibatasi oleh beberapa faktor. Kesimpulannya, setiap manusia yang mempunyai kewenangan berhak belum tentu mempunyai kewenangan berbuat atau bertindak.
Orang yang cakap (wenang melakukan perbuatan hukum ) menurut UU adalah:
• Orang yang dewasa ( diatas 18 tahun) atau pernah melangsungkan perkawinan
• Tidak dibawah pengampuan, yaitu orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, pemboros, dll.
• Tidak dilarang oleh UU, misal orang yang dinyatakan pailit oleh UU dilarang untuk melakukan perbuatan hukum.
Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Dan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru ini tengah memuat asas-asas kewarganegaraan umum ataupun universal.
Catatan sipil adalah kantor yang bertugas membuat dan menyimpan surat-surat mengenai kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian.


Daftar Pustaka
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Yogyakarta:2004 Cet. ke-4), hlm. 23
www.Fauzanarrasyid.myopera.com/hukum-perorangan/
www.Iki.com/pelayanan-publik/catatan-sipil-dalam-perspektik-ham/
www.pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
www.Kuliahade.blogspot.com/hukum-perdata/domisili/

0 komentar:

Go to Top
Copyright © 2015 Khasan Almuza
Distributed By My Blogger Themes | Template Created By