Pengaruh Sosial Politik Pembukuan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

Sejak kedatangan islam di Indonesia, islam telah mengalami bermacam-macam kondisi, hambatan dan tantangan. Segera setelah Islam berkembangdan menyebar ke berbagai wilayah di Nusantara pada abad ke-13 sampai abad ke-15, dan harus berhadapan dengan kaum kolonial sejak abad ke-16. Pemerintahan kolonial cenderung memberikan keuntungan pada hukum perdata barat dan hukum adat.
Hadirnya wacana hukum Belanda juga mempunyai segi positif pada masa yang akan datang. Sesungguhnya ia telah meninggalkan sebuah pelajaran yang cukup berharga mengenai pentingnya kodifikasi hukum dalam menciptakan suatu kepastian hukum yang berasal dari prinsip-prinsip tradisi hukum Romawi.
Ditetapkanya PP No. 45/1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura dan Surat Edaran Biro peradilan Peradilan Agama No. 8/1/735 tanggal 18 Februari 1958 menegenai kitab-kitab yang akan digunakan sebagai rujukan pembuatan putusan oleh Pengadilan Agama merupakan langkah awal upaya kodifikasi dan unifikasi.munculnya UU No. 1/1974 dan UU No. 7/1989 merupakan langkah selanjutnya yang kemudian mengantarkan kepada pembuatan Kompilasi Hukum yang digunakan oleh Pengadilan Agama sebagai rujukan stndar setiap putusan

KHI yang dikeluarkan dan disahkan melalui Inpres No. 1/1991 tanggal 10 Juni 1991 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama No. 154/1991 tanggal 22 Juni 1991 merupakan perkembangan terbaru dari upaya kompilasi dan kodifikasi hukum Islam di dunia Islam pada umumnya, dan di Indonesia khususnya. KHI bukan hanya mengkompilasi hukum-hukum yang sudah pernah digunakan sebelumnya dalam pembuatan keputusan Pengadilan Agama, melainkan pula mengkompilasi hukum-hukum baru dari berbagai madhab hukum yang dirasa kompatible dengan tatanan hidup (the living law), hukum dan tradisi yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, KHI juga berfungsi sebagai peneguh eksistensi Pengadilan Agama di Indonesia karena ia telah mengisi salah satu pilar dari 3 pilar yang dipersyaratkan, adanya badan peradilan, fungsionaris (hakim, pengacara dan jaksa), serta sumber rujukan putusan.
Latar Belakang Sosiologis Pembukuan KHI
Hukum haruslah bersifat adaptable terhadap kebutuhan social, norma, tradisi dan kebiasaan lainnya, sesuai dengan landasan teoritis bahwa hukum ialah a tool of social engineering. Hukum islam, dalam konteks ini, juga sangat bersifat adaptable dan flexible terhadap perubahan-perubahan selama hal mengacu kepada maqashid al-shari’ah. Satu kaidah hukum (legal maxim) yang secara khusus berkenaan dengan hal ini yang dikemukakan usuliyyun, khususnya madhab Hanafi, adalah al-hukm yataghayyur bi tagahayyur al-azminah wa al-amkinah (hukum bisa berubah bersamaan dengan berubahnya zaman dan tempat). Kata “tempat dan waktu” dalam kaidah itu dapat dipahami secara luas sebagai konteks social yang meliputi factor ekonomi, social, politik, dan lainnya, terutama al-adah (custom) dan ‘urf (usage) yang hidup di masyarakat. Kaidah hukum yang cukup terkenal ialah al-adah al-muhakkamah (adapt bisa menjadi hukum) sepanjang ia tidak kontradiksi dengan prinsip-prinsip umum hukum islam.
Kerangka teoritis di atas menyiratkan adanya mutual relationship antara hukum dan masyarakat dan menyakinkan kita bahwa perkembangan setiap hukum dapat dan harus dilihat dari perspektif sosialnya. Lahirnya KHI juga harus dianalisis dalam tataran ini, sehingga muncul pertanyaan-pertanyaan seperti : Bagaimana KHI bisa memenuhi kebutuhan dan praktek hukum pada masyarakat muslim Indonesia? Reformasi atau inovasiseperti apakah yang ditawarkan KHI yang membedakan dengan UU dan peraturan atau fiqh sebelumnya?
Banyak sejarawan, khususnya sejarawan muslim Indonesia, menegaskan bahwa konflik antara hukum adapt dan hukum Islam itu munculsejak datangnya kolonialisme. Bustanul Arifin dan Danial Noer adalah diantara yang menegaskan kebenaran tersebut. Meskipun demikian, Lev menegaskan bahwa sebenarnya konflik tersebut sudah ada sejak datangnya islam, sedangkan kedatangan colonial Belanda dengan segala bias-bias kepentingan dan ideologinya hanyalah mendukung hukum adat. Pendapat Lev ini sealur dengan pemikiran Snouck Hurgronje, M. B. Hooker dan beberapa sarjana Indonesia seperti Muhammad Rajab.
Dalam sejarah perkembangan hukum islam, konflik ini semakin menajam dan berakar dalam pembentukan pola pandang generasi selanjutnya, sehingga ada jurang pemisah antara hukum Islam yang ada dalam teks dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum adapt seakan menempati hukum yang realistis, membumi, sedangkan hukum Islam berada dalam posisi ideal dan melangit. Menyadari adanya gap semacam inilah, maka muncul keinginan untuk menjembatani dengan menciptakan kembali hukum islam yang bersentuhan dengan dan diterapkan dalam realitas sosial, atau dalam bahasa Hasbi as-Shiddiqie, “Hukum Islam Indonesia”.
Kompilasi hukum Islam lahir untuk memenuhi kenginan seperti itu. Karena itulah maka dalam ketiga buku yang ada dalam KHI dapat ditemikan hukum-hukum “baru” yang berbeda dengan kebanyakan wacana teks fiqh yang berkembang tetapi sealur dengan hukum adat yang hidup dalam masyarakat. Disini tampak jelas pengaruh sosial dan hukum adat yang termaktub dalam KHI. Untuk memperjelas, maka berikut ini beberapa contoh yang layak dikaji.
Kawin dengan wanita hamil merupakan problematika kontroversial dikalangan para fuqaha. Malik ibn Anas dan Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah, mengawinkan wanita hamil sebelum melahirkan yang masa iddahnya adlah tidak diperbolehkan. Ibnu Qudamah sependapat dengan Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dua syarat, yaitu [a] Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawin. [b] Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera. Sementara itu al-Syafi’I menyatakan bahwa perkawinan seperti itu diperbolehkan (mubah) selama hamilnya itu adalah hamil diluar nikah yang dalam provisi hukum islam tidak memiliki implikasi apa-apa terhadap nasab. 
Menghadapi persoalan itu, KHI ternyata memilih pendapat yang membolehkan untuk dijadikan pasal sebagaimana termaktub dalam pasal 53 KHI.
Motivasi dipilihnya pendapat as-Syafi’I dalam pasal ini muncul karena meningkatnya jumlah wanita hamil diluar nikah dan ditambah lagi dengan model penyelesain adat seperti di Bali dan Sumsel yang memaksa laki-laki yang menghamilinya
mengawininya secara sah telah menjadi impulse tersendiri atas munculnya pasal 53 KHI.

Latar Belakng Politik Pembukuan KHI
Membahas latar belakang politik munculnya KHI,sebenarnya juga membahas tentang hubungan antara Islam dan Pemerintah. Abdul Aziz Thaba menjelaskan, sepanjang sejarah KHI melalui beberapa tahapan-tahapan perkembangan mulai dari hubungan antagonistic (1966-1981), hubungan resiprokal (1982-1985) dan hubungan akomodatif (1986-sekarang).
Pada periode yang ketiga, hubungan akomodatif dan baik antara Islam dan Negara semakin tampak dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal oleh beberapa Organisasi Islam, dikeluarkannya UU Pendidikan Naional yang menghapus larangan penggunaan jilbab bagi siawi muslim yang sebelumnya dilarang oleh PP No. 52/C/Kep/D.82 yang diterpakan sejak 17 Maret 1982 dan munculnya KHI pada tahun 1991 dipandang sebagai ekstensi dari hubungan akomodatif semacam ini, dimana peran Presiden dan Mahkamah Agung sangat besar. Sebenarnya usulan KHI secara umum datang dari kaum kelas menengah yang berisikan intelektual, mahasiswa dan kaum professional.
Kebijakan-kebijakan laainnya yang diambil Pemerintah dalam hubungan dengan umat Islam adalah pelarangan tabloid Monitor, pengiriman 1000 mubaligh ke daerah terpencil, pendirian ICMI, dibentuknya Bank Muamalat Indonesia, dan komitmen serta janji Presiden Soeharto untuk membiayai pembangunan dan renovasi bangunan keagamaan dengan menggunakan dana Yayasan Amal Bakti Muslimin Indonesia.
Untuk kebijakan-kebijakan di atas, umat Islam meresponnya dengan dukungan terhadap pemerintah baik yang langsung ataupun tidak langsung. Ada tiga hal, sekurang-kurangnya yang dilakukan umat Islam dalam hal ini ; Pertama adalah menunjukan dukungan tokoh-tokoh islam pada Soeharto untuk dipilih kembali sebagai presiden periode 1993-1998; kedua, dukungan Muhammadiyah kepada Soeharto; ketiga, doa politik untuk mendoakan kesuksesan Soeharto untuk masa berikutnya.
Akhir tahun 80-an dan awal tahun 90-an adalah waktu yang tepat untuk meluncurkan KHI karena dua alas an utama; pertama, untuk mendapatkan dukungan
pemilu 1992, pemerintah perlu menyakinkan masyarakat Muslim bahwa pemerinrtah memiliki komitmen dan dukungan baik kepada kehidupan kehidupan Islam; kedua, masyarakat Muslim sadar betul bahwa Pengandilan Agama sangat membutuhkan pembuatan kodifikasi standard sebagai rujukan PA dan sebagai follow up aplikasi UUPA No. 7/1989 dan untuk memperkuat PA vis-à-vis pengadilan-pengadilan lain.
Pengaruh politik lainya dari pembukuan KHI ini adalah tampak dengan jelas dalam tujuan-tujuan dibukukannya KHI itu sendiri yang menurut M. Yahya Harahap (salah satu panitia pebdiri KHI), memiliki empat tujuan operatif, yaitu: untuk memenuhi pilar-pilar Peradilan Agama; untuk menyeragamkan aplikai hukum islam; untuk menjaga ukhuwah islamiyah; dan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa sector non formal.


2 komentar:

Go to Top
Copyright © 2015 Khasan Almuza
Distributed By My Blogger Themes | Template Created By